Indonesia Poros Maritim Dunia
Pertemuan ASEAN ke-25 di Nay Pyi Taw, Myanmar, 12 November 2014. Sumber foto: Dok Kemenlu
Poros Maritim Dunia ialah agenda pembangunan Indonesia yang boleh dikata baru. Oleh Presiden Joko Widodo konsep ini dicanangkan pada masyarakat internasional saat pertemuan East Asia Summit ke-9 di Nay Pyi Taw, Myanmar, pada 13 November 2014. Orasi ini bisa dikata merupakan penegasan pertama Presiden RI di forum internasional.
Menyimak pidato di Myanmar itu, tampak Presiden Joko Widodo menyadari fenomena transformasi besar tengah terjadi di abad ke-21. Saat itu Presiden Joko Widodo berkata: “Pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Sekitar empat puluh persen perdagangan dunia ada di kawasan ini. Negara-negara Asia sedang bangkit.”
Dan lanjut Presiden Joko Widodo: “Indonesia berada tepat ditengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geoekonomi.”
Menyadari arti strategis Indonesia, pada kesempatan yang sama tersebut Presiden Joko Widodo memaparkan lima pilar sebagai upaya untuk mewujudkan poros maritim dunia itu. Kelima pilar itu, yang sekaligus merupakan bentuk tawaran kerja sama Indonesia kepada dunia, adalah, Pertama, membangun kembali budaya maritim. Kedua, menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai tiang utama.
Ketiga, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim. Keempat, mengembangkan diplomasi maritim dengan bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut. Dan terakhir atau kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim.
Ya, Indonesia ialah negara kepulauan. Memiliki lautan luas dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Posisi geografis Indonesia berada di daerah khatulistiwa. Berada di antara dua benua, Asia dan Australia. Berada di antara dua samudera, Pasifik dan Hindia. Mudah diduga sejak zaman kuno, lokasi kepulauan Nusantara ini telah menjadi sebuah lokus persilangan alur lalu lintas laut yang menghubungkan benua timur dan barat.
Menariknya, kini berdasar analisis para pakar ditaksir sekitar 90% perdagangan global diangkut melalui laut, di mana 40% di antaranya melewati perairan Indonesia. Jelas, 40% ialah sebuah angka yang fantastis. Ini berarti, posisi Indonesia sampai kapanpun juga akan selalu menjadi tempat strategis dalam peta perdagangan dunia.
Sumber: Bappenas/PT Pelindo
Konsepsi poros maritim dunia sebagai strategi maritim Indonesia sejatinya merupakan kesinambungan dari gagasan masa lalu, dan sekaligus sebagai upaya strategis untuk memaksimalkan seluruh potensi Indonesia. Adalah bermula dari “Deklarasi Juanda” pada 13 Desember 1957. Setelah hampir 25 tahun diperjuangkan dalam forum internasional secara gigih, barulah pada 10 Desember 1982 UNCLOS (Nation Convention on the Law of the Sea) mengakui dan bahkan mengadopsi konsepsi itu sebagai The Archipelagic Nation Concept.
Lebih jauh, Deklarasi Juanda telah membuka jalan untuk berkembangnya konsep ‘Wawasan Nusantara” di masa Orde Baru, sebuah gagasan yang menyatukan tanah (daratan) dan air (laut) menjadi suatu kesatuan yang utuh tak terpisahkan.
Ya, sejak awal perjuangan kemerdekaan, di Indonesia konsepsi “tanah-air” ialah sebagai sinonim arti nasionalisme (motherland). Di kemudian hari, bermaksud mengenang “milestone” Deklarasi Juanda ini, Presiden Megawati Sukarnoputri melalui Keppres No. 126/th 2001 menetapkan tanggal 13 Desember ini sebagai “Hari Nusantara.”
Konsekuensinya sungguh menguntungkan bagi Indonesia. Jikalau sebelumnya luas laut tak lebih dari 1 juta km persegi, maka melalui UNCLOS 1982 kini luas laut Indonesia bertambah menjadi 5,8 juta km persegi. Terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman seluas 3,1 juta km persegi dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) seluas 2,7 juta km persegi.
Dengan areal tersebut membuat Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Merujuk Pidato Kebudayaan Hilmar Farid yang berjudul “Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik” (2014), jika seluruh sektor kelautan ini tergarap dengan baik, maka nilainya bisa mencapai Rp3.000 triliun per tahun. Lebih dari itu, sektor kelautan juga sanggup menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang. Mulai dari sektor energi, perikanan, pengembangan wilayah pesisir, pengembangan industri berbasis bioteknologi, transportasi laut, dan lain sebagainya.
Ya, sekali lagi, kini sebuah trasformasi besar sedang terjadi di abad ke-21. Pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Negara-negara Asia sedang bangkit. Momentum ini tentu sangat baik untuk menunjang cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia. Oleh karena itu, tentu tak berlebihan jika Presiden Joko Widodo bergegas menegaskan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Terlebih di masa lalu Indonesia juga pernah mencatatkan dirinya sebagai bangsa bahari dan negara maritim besar. Sebutlah Sriwijaya di abad ke-7 dan Majapahit di abad ke-14 jelas merupakan jejak sejarah dua kerajaan berbasis maritim. Bagi orang Indonesia, kedua kerajaan itu bukan saja sering dianggap sebagai kerajaan besar, melainkan juga bahkan ditempatkan sebagai cikal bakal tradisional perihal munculnya nasionalisme Indonesia modern di abad ke-20.
Indonesia juga mengenal kisah orang Mandar dan perahu cadiknya. Bernama sandeq, perahu sederhana orang Mandar ini dikenal dan terbukti sanggup menjelajahi samudra raya nan luas. Pun di Indonesia tinggal beberapa etnis yang sangat lekat dengan tradisi laut. Sebutlah Suku Bajau dan Suku Laut, misalnya, dari khazanah tradisi lautnya jelas memungkinkan bangsa Indonesia belajar dari pandangan-dunia mereka untuk menemukan kembali landasan untuk membayangkan bentuk negeri maritim di masa depan.
Lawan Pencurian Ikan dan Bangun Tol Laut
Langkah awal penguatan ekonomi maritim dilakukan dari sisi penegakan hukum. Tujuannya, selain menjaga kedaulatan laut, juga dimaksudkan memberi nilai tambah bagi nelayan dalam peningkatan produksi dan industri perikanan. Artinya, dari lima pilar menuju poros maritim dunia yang dicanangkan di Myanmar itu, Presiden Joko Widodo, sekalipun hasilnya belum semuanya terlihat maksimal, sementara ini sengaja memprioritas realisasi pilar kedua dan pilar ketiga.
Kebijakan memberantas illegal fishing jadi pilihan utama. Serius memberantas illegal fishing, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing). Hasilnya, tak setengah hati. Sebagai upaya menjaga integritas wilayah dan kedaulatan negara, di sepanjang 2014-2018 pemerintah telah menenggelamkan kapal pencuri ikan sebanyak 488 unit.
Direktur Jenderal FAO (Food and Agriculture Organization), Jose Graziano da Silva, pada pencanangan dan peringatan pertama Hari Internasional IUUF (International Day for the Fight Against Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada 5 Juni 2018, bahkan mengapresiasi keseriusan kebijakan pemerintah dalam pemberantasan illegal fishing ini. “Ibu Susi Pudjiastuti yang memulai dan menjadi yang pertama untuk upaya konsisten melawan segala bentuk aktivitas ilegal di laut, tidak hanya soal penangkapan ikan ilegal,” ujar Jose Graziano da Silva.
Apresiasi senada untuk Indonesia juga diberikan oleh Komisioner Uni Eropa untuk Urusan Kelautan dan Perikanan, Karmenu Vella.
Penenggelaman kapal asing. Sumber foto: Dok KKP
Keseriusan pemberantasan illegal fishing tentu berbuah positif. Bukan saja angka pencurian ikan turun drastis, juga tercatat terjadi peningkatan populasi ikan lestari di kawasan perairan laut Indonesia. Lebih dari itu, yang terpenting kebijakan ini kini dari tahun ke tahun mulai menuai peningkatan PDB Perikanan dan menguntungkan nelayan.
Langkah selanjutnya ialah pembangunan konektivitas melalui pembangunan Tol Laut. Bicara syarat utama menjadi poros maritim dunia, terlebih jika bermaksud mengambil potensi ekonomi dari kepadatan lalu lintas kapal-kapal yang melalui perairan Indonesia, tentu mensyaratkan infrastruktur kelautan harus dibangun dan dikembangkan secara modern.
Infrastruktur kelautan pertama-tama berfungsi memastikan efesiensi jalur logistik barang-barang kebutuhan pokok antarpulau-pulau melalui sebaran pelabuhan pengumpan (feeder) dan pelabuhan perintis secara merata di seluruh wilayah Indonesia.
Saat ini total jumlah pelabuhan baik komersial maupun non-komersial berjumlah 1.241 pelabuhan, di mana 1 pelabuhan melayani 14 pulau atau 14,1 pulau/pelabuhan. Keadaan infrastruktur ini masih belum ideal jika dibandingkan dengan rasio di negara kepulauan lain di Asia. Sebutlah Jepang, misalnya, rasionya ialah 3,6 pulau/pelabuhan dan Filipina 10,1 pulau/pelabuhan.
Pun tujuan utama lainnya ialah mengembangkan pelabuhan hub internasional di daerah-daerah terluar sebagai langkah untuk mengintegrasikan Indonesia dengan sistem jaringan logistik regional dan global. Dari 1.241 pelabuhan, 141 di antaranya ialah pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan internasional. Merujuk sumber RIPN (Rencana Induk Pelabuhan Nasional) yang dirils pada akhir Desember 2016, dua pelabuhan sebagai hub internasional telah ditetapkan yakni pelabuhan Bitung dan Kuala Tanjung.
Berpijak dari cita-cita besar membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia itulah, pemerintah mengeluarkan kebijakan menggenjot pembangunan infrastruktur. Dalam konteks infrastruktur kelautan, pemerintah menetapkan 24 pelabuhan strategis untuk merealisasikan konsep Tol Laut. 5 pelabuhan hub nasional maupun internasional dan 19 pelabuhan pengumpan (feeder). Pelabuhan yang menjadi hub Tol Laut ialah, Belawan/Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Bitung. Pelabuhan-pelabuhan tersebut direncanakan menjadi jaringan pelabuhan terpadu yang terintegrasi dengan kawasan industri.
Sejauh ini, di sepanjang 2014-2018, telah dilakukan pengembangan 5 pelabuhan hub nasional menuju hub internasional dan 19 pelabuhan pengumpan, dan yang tak kalah pentingnya ialah dibangunnya 162 pelabuhan perintis. Tujuan pelabuhan perintis ialah memperbaiki konektivitas antarpulau-pulau khususnya di Indonesia bagian timur.
Sedangkan bicara kualifikasi pelabuhan hub internasional ialah adanya akses kelautan yang mudah (nautical access), tingkat kedalaman perairan yang memungkinkan kapal berbobot besar berlabuh, dan juga adanya sistem kendali pelayaran berbasis teknologi muthakir (vessel traffic guidance system). Tak kecuali, keterjaminan aspek keamanan pelabuhan ialah syarat utama.
Pun bicara kapasitas dan kinerja pelayanan jasa di pelabuhan hub internasional harus semakin efisien dan profesional. Baik terkait lama antrian sandar (waiting time) hingga mekanisme proses bongkar muat (dwelling time). Selain tempo yang diperlukan harus semakin singkat, prosedur dan proses pengurusannya juga harus semakin mudah dan sederhana.
Tentu saja masih banyak pekerjaan rumah. Ada kompleksitas persoalan yang tidak mudah diselesaikan serta-merta. Mengubah paradigma daratan yang telah berlangsung sepanjang Indonesia merdeka menjadi paradigma lautan ternyata tidak mudah. Namun demikian kesinambungan agenda pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia harus terjaga.
Pasalnya, sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini pada realisasi di lapangan, sebagai konsep strategi arah pembangunan, ide Indonesia poros maritim dunia ialah sebuah terobosan tersendiri dan buah dialektika memajukan Indonesia sebagai sebuah negara maritim. Bagaimanapun, konsepsi membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia, laiknya Deklarasi Juanda, ialah sebuah “milestone” tersendiri di sepanjang sejarah perumusan kebijakan nasional selama ini.
sumber :https://indonesia.go.id/
0 komentar:
Posting Komentar